Selasa, 22 Juni 2010

Lomba Karya Tulis Kopertis III Pedagang Kaki Lima

Pedagang Kaki Lima
Kota-kota di Indonesia berkembang sangat pesat, sangat menarik bagi calon pencari kerja, karena itu setiap tahun berjuta-juta orang dari desa datang ke kota untuk mengadu nasib mencari peruntungan. Kota menjadi tumpuan harapan masa depan bagi sejumlah orang yang saling berebut kepentingan. Pada kenyataannya banyak kota besar yang tidak mampu memberikan pelayanan kepada para pendatang dari desa tersebut.
Krisis multidimensi yang terjadi akibat proses reformasi pemerintahan di Indonesia menimbulkan berbagai masalah dalam berbagai sektor kehidupan bernegara dan sosial masyarakat. Sulitnya mencari pekerjaan, banyaknya karyawan yang di PHK karena perusahaan sudah tidak mampu lagi membayar gaji karyawannya merupakan kenyataan yang dirasakan akibat terpuruknya roda perekonomian kita. Sementara kebutuhan untuk melanjutkan hidup merupakan beban tetap yang harus ditanggung oleh sebuah keluarga. Pemecahan masalah yang paling sederhana yang muncul dari pemikiran sekelompok masyarakat kecil untuk bertahan hidup antara lain adalah berjualan mencari sedikit keuntungan dengan menjajakan berbagai jenis barang, makanan atau minuman. Sekelompok masyarakat inilah yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan pedagang kaki lima.
Persepsi atas keberadaan PKL selalu dianggap miring. PKL sering diidentikkan dengan biang kemacetan dan kekumuhan kota. Bahkan, di era otonomi daerah ternyata PKL tetap saja dikonotasikan sebagai sampah sehingga selalu digusur kesana-kemari dan juga sering dipaksa untuk patuh direlokasi ke tempat lain yang sering kali tidak memberi hasil yang sepadan dibanding dengan lokasi yang sama. Padahal, bagi PKL keberadaan dan eksistensi mereka tak lain menjadi tulang punggung ekonomi keluarganya. PKL menjadi salah satu potret sektor informal perkotaan yang tidak lekang oleh waktu.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, terbitan Departemen Pendidikan Nasional edisi keempat tahun 2008, pedagang kaki lima didefinisikan sebagai:
-     Lantai diberi atap sebagai penghubung rumah dengan rumah.
-     Serambi muka (emper) toko di pinggir jalan (biasanya berukuran lima kaki, biasanya dipakai sebagai tempat berjualan).
    (lantai di) tepi jalan.
Masalah pedagang kaki lima seringkali dilihat dari sisi tingkat gangguan yang ditimbulkan. Hal ini karena pedagang kaki lima cenderung menggunakan segala kemungkinan yang dapat mereka lakukan untuk berjualan. Dalam menghadapi pedagang kaki lima terkait dengan bidang penataan kota misalnya, Pemerintah Kota seringkali mengambil kebijakan yang kurang menguntungkan bagi pedagang kaki lima. Dilihat dari segi kekuatan dan peran yang dapat diambil pedagang kaki lima adalah bahwa pedagang kaki lima dapat membantu penyerapan angkatan kerja dan dapat menciptakan lapangan kerja sendiri, pedagang kaki lima dapat menyediakan kebutuhan bahan pokok untuk kalangan ekonomi menengah ke bawah serta membayar retribusi sebagai salah satu Pendapatan Asli Daerah (PAD). Selain itu pedagang kaki lima juga ikut serta membantu sistem ekonomi perkotaan dalam hal menciptakan rantai-rantai kegiatan ekonomi perkotaan. Karakteristik yang dimiliki pedagang kaki lima dengan kehadirannya dalam aktivitas ekonomi sangat didorong untuk menciptakan kesempatan kerja bagi dirinya sendiri. Dilain pihak kehadiran pedagang kaki lima sebagai bagian dari sektor informal perlu dipandang dalam konteks yang hakiki, yaitu sebagai sarana mencari nafkah bagi golongan ekonomi lemah tanpa mengancam serta tidak merugikan yang golongan kaya. Hal ini sesuai dengan tujuan Pembangunan Nasional yaitu meningkatkan taraf hidup masyarakat secara adil dan merata. Sedangkan dari segi negatifnya adalah mengganggu lalulintas, mengganggu keindahan kota dan mengganggu kebersihan.
Persoalan pedagang kaki lima di perkotaan khususnya kota Jakarta akan selalu ada karena empat hal yaitu:
Pertama adalah karena adanya kebutuhan masyarakat terhadap barang-barang yang lebih murah, bervariasi sesuai dengan selera mereka serta lokasi penjual yang mudah dijangkau. Hal ini mampu dipenuhi oleh para pedagang kaki lima yang berlokasi di tempat strategis maupun pedagang kaki lima yang memiliki mobilitas (pikulan, gerobak dorong, sepeda).
Kedua, jumlah pencari kerja lebih besar dibandingkan dengan lapangan kerja formal yang tersedia. Maka sektor informal khususnya pedagang kaki lima merupakan penyelesaian terhadap persoalan ini. Disamping adanya orang-orang yang memang sulit dapat tertampung pada sektor formal karena tingkat pendidikan yang tidak memadai.
Ketiga, adanya kesenjangan pertumbuhan ekonomi antara kota dengan desa yang mencerminkan terjadinya sentralisasi pembangunan, menyebabkan aliran sumber daya manusia dari desa ke kota untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.
Sedangkan yang keempat adalah adanya keterbatasan ruang usaha yang strategis bagi pedagang kaki lima.
Untuk mengatasi pedagang kaki lima yang dianggap telah mengganggu kepentingan umum, tindakan penggusuran yang disertai dengan kekerasan terhadap pedagang kaki lima merupakan strategi yang tidak tepat. Keberadaan pedagang kaki lima harus dipertahankan bahkan ditingkatkan dari segi kualitas barang yang diperdagangkan maupun keterampilan bagi pedagang itu sendiri. Untuk mengatasi masalah pedagang kaki lima ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
1. Pemerintah harus melakukan penanganan sejak dini terhadap bibit-bibit pedagang kaki lima yang bermunculan di jalan maupun trotoar. Hal ini untuk menghindari semakin banyak pedagang kaki lima yang bermunculan sehingga sulit untuk merelokasi mereka dikarenakan jumlah mereka yang sangat banyak.
2.  Adanya musyawarah yang dilakukan Pemerintah dengan pedagang kaki lima untuk mencari solusi yang optimal mengenai tempat untuk berjualan dengan tertib tanpa adanya ketakutan akan penggusuran.
3.  Memberikan tempat khusus untuk berjualan di lokasi yang strategis sehingga pedagang kaki lima tidak menjadi masalah dalam penataan kota dan kemacetan lalu lintas. Selain itu, tempat berjualan dilengkapi dengan fasilitas penunjang seperti toilet umum, lokasi parkir kendaraan serta tempat pembuangan sampah. Lokasi berjualan ini juga ditata seindah mungkin sehingga dapat menjadi menarik bagi pengunjungnya.
4.  Apabila pemerintah tidak bisa untuk menyediakan tempat khusus bagi pedagang kaki lima, cara lain yang dapat dilakukan adalah pengaturan mengenai waktu untuk berjualan.
5.  Dalam melakukan penertiban harus menggunakan cara yang ramah, mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan jauhi sikap paksa ataupun kekerasan.
6.   Pemerintah harus tegas dan konsisten dalam menjalankan kebijakan yang telah ditetapkan.
 
Penyelesaian masalah pedagang kaki lima dapat dicapai apabila memperhatikan kedua syarat berikut.
Pertama adalah adanya partisipasi. Karena menyangkut kepentingan umum, kepentingan pedagang kaki lima itu sendiri dan kepentingan pemerintah maka penggunaan ruang publik yang menjamin kepentingan semua pihak hendaknya dipecahkan bersama diantara ketiga pihak tersebut. Pemantauan penggunaan ruang publik tersebut dilakukan oleh ketiga pihak tersebut. Pemantauan penggunaan ruang publik tersebut dilakukan oleh ketiga pihak tersebut dan bila ada persoalan diselesaikan secara musyawarah dalam forum komunikasi yang dibentuk untuk itu. Dengan demikian bila selama ini pejabat yang bertanggung jawab terhadap ketentraman dan ketertiban pedagang kaki lima dikontrol oleh atasannya, sekarang juga dikontrol oleh masyarakat dan pedagang setempat.
Yang kedua adalah adanya konsistensi. Dalam menerapkan kebijakannya pemerintah daerah agar senantiasa konsisten, kebijaksanaan yang satu tidak bertentangan dengan kebijakan yang lain, pelaksanaan di lapangan sesuai dengan kebijakan yang sudah ditetapkan. Terhadap pedagang kaki lima yang melanggar ketentuan dikenakan tindakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku tanpa pilih kasih, dan terhadap petugas yang melanggar prosedur juga dikenakan sanksi. 
Pada dasarnya saran yang diberikan meliputi tiga hal, yaitu penataan, pengendalian dan penertiban. Penataan yaitu pengaturan lokasi yang memperhatikan kepentingan masyarakat, pedagang dan pemerintah, kemudian pengendalian yaitu memastikan agar pengaturan tersebut dipatuhi dan pembinaan yaitu mengembangkan kemampuan para pedagang kaki lima untuk dapat meningkatkan menjadi pedagang formal.
a.   Penataan
1.   Organisasi pedagang kaki lima dibentuk dengan memudahkan koordinasi, di samping kepada mereka sendiri diminta untuk melakukan pengendalian para anggotanya untuk menaati ketentuan yang berlaku.
2.   Masyarakat yang diwakili oleh RT, RW dan Dewan Kelurahan bersama-sama dengan wakil dari organisasi pedagang kaki lima serta aparat Pemerintah Daerah bersama-sama menentukan lokasi pedagang kaki lima beserta batas-batasnya dan ketentuan teknis lainnya hingga tercapai kesepakatan bersama.
3.   Dibentuk forum komunikasi antara wakil masyarakat setempat, wakil pedagang beserta wakil dari Pemerintah Daerah untuk bersama-sama menjaga terlaksananya kesepakatan tersebut dan memastikan tidak terjadi pelanggaran. Persoalan yang muncul dilapangan dimusyawarahkan bersama.
4.   Pembuatan ketentuan-ketentuan seperti Peraturan Daerah, Surat Keputusan Gubernur dan sebagainya agar memperhatikan masukan dari forum komunikasi serta masukan dari pihak-pihak lain seperti lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi dan sebagainya.
5.   Ruang publik seperti trotoar, bahu jalan, taman dijadikan sebagai tempat berdagang, namun dengan syarat-syarat tertentu misalnya tetap mempertahankan kenyamanan, keindahan, ketertiban, kebersihan dan keamanan.
6.   Perlu diatur penertiban terhadap pungutan-pungutan yang harus dibayar oleh para pedagang kaki lima, sehingga seorang pedagang tidak dipunguti beberapa macam jenis pungutan. Pungutan hanya dilakukan oleh petugas yang ditunjuk secara resmi. Hal ini akan memberikan rasa keadilan, kepastian dan kenyamanan usaha.
7.   Secara bertahap, lokasi yang sudah disepakati dapat ditinjau kembali keberadaannya.
b.    Pengendalian
1.   Instansi atau lembaga yang bertanggung jawab dalam penanganan pedagang kaki lima agar menunjuk pejabat yang bertanggung jawab terhadap lokasi pedagang kaki lima dan secara langsung menerima pengaduan dari masyarakat maupun pedagang apabila terjadi pelanggaran maupun persoalan lain di lapangan.
2.   Bagi para pedagang yang melanggar ketentuan dibuat aturan yang tegas agar tidak dikenakan pungutan apapun dari petugas yang harus dilaksanakan secara konsekuen dan  Pemda segera bertindak cepat secara dini untuk melakukan penertiban kepada mereka yang melanggar.
3.   Apabila terjadi pelanggaran maka harus segera diambil tindakan penertiban tanpa menunda-nunda demi mencegah meluasnya pelanggaran.
4.   Forum komunikasi masyarakat, pedagang kaki lima dan pemerintah bertemu secara periodik untuk mengevaluasi perkembangan keadaan di lapangan dan mengkomunikasikan persoalan-persoalan yang timbul.
5.   Senantiasa dikomunikasikan kepada semua pihak tentang ketentuan yang berlaku dan diperingatkan kepada mereka agar ditaati.
6.   Pemerintah menyediakan lahan alternatif bagi para pedagang kaki lima dengan mempertimbangkan aspek strategis lokasinya, sehingga dapat menjadi tempat penampungan bagi pedagang kaki lima yang terkena penertiban.
c.    Pembinaan
1.   Para pedagang kaki lima di lokasi resmi diarahkan agar membentuk organisasi pedagang kaki lima sehingga akan mempermudah komunikasi dalam rangka pembinaan.
2.   Sesuai dengan Keputusan Gubernur KDKI No. 433 Tahun 1995 tentang Pola Pembinaan Sektor Informal/Golongan Usaha Skala Kecil di DKI Jakarta, maka pada Lokasi Binaan maupun Lokasi Pilot Proyek dilakukan pembinaan yang antara lain terdiri dari:
i.    Pembinaan ketrampilan berusaha
ii.   Pembinaan kelembagaan
iii.  Pembinaan permodalan
iv.  Pembinaan pasar
v.   Pembinaan manajemen usaha
vi.  Pembinaan hukum
 

..introduce..